Senin, 15 Februari 2010

Religi, Islami, atau Syar'i?

(tulisan ini adalah copas dari catatan saya di Facebook)

Ada yang masih mengganjal dalam benak saya soal album religi, musik Islami, dll. Bukan masalah istilahnya, tetapi kenyataan yang tampak di balik itu.

Yang disebut album religi tentu bukan cuma yang "Islami", tetapi ada juga yang "Kristiani", seperti dapat kita lihat di toko-toko kaset & CD. Buat saya, yang menjadi masalah, ada kesan pola pikir sekuler dalam penerbitan sebuah album religi, terutama oleh artis Muslim yang biasanya menyanyikan lagu-lagu dengan tema bebas (mayoritas sih tentang cinta). Contohnya Ungu, Gigi, dll. Mengapa sekuler? Karena ada kesan bahwa artis tersebut bersikap "Islami" hanya ketika menyanyikan lagu-lagu religi.

Bandingkan dengan Opick yang pada awalnya menyanyikan lagu-lagu dengan tema bebas. Ketika ia berubah haluan ke lagu-lagu yang Islami, ia memilih bersikap konsisten, termasuk sikap dan penampilannya yang ia jaga agar tetap Islami. Akibatnya ia sering dianggap ustadz dan ditanya macam-macam perihal Islam, sehingga secara tidak langsung menuntut Opick untuk memperdalam Islam. Ini menunjukkan sikap istiqamah yang menurut saya patut dicontoh. Dan setahu saya, Opick tidak pernah mempromosikan albumnya sebagai album religi. Begitupun Bimbo (biasanya Bimbo menyebut albumnya album qasidah, sebagai satu genre musik).

Lalu ada lagi istilah Islami. Dalam pengamatan saya, apapun yang diberi label Islami belum tentu mencerminkan Islam itu sendiri, tetapi lebih kepada menunjukkan atribut budaya yang umum digunakan oleh Umat Islam. Contoh: di zaman Rasulullah Shallallahu 'alayhi wasallam (setahu saya) tidak ada yang namanya peci dan baju koko, tetapi sekarang dianggap sebagai ikon Islam. Memang sejauh tidak bertentangan dengan syari'ah Islam, apapun yang Islami tidak menjadi masalah. Bukankah prinsip Islam (dalam hal duniawi) adalah "semua boleh kecuali yang dilarang Allah dan Rasul-Nya"?

Yang menjadi masalah, misalnya seorang perempuan dewasa mengenakan busana yang dipandang "Islami" tapi poni rambutnya kelihatan (kalau cuma beberapa helai sih mungkin tidak sengaja), atau lengan bajunya tipis sehingga agak menerawang. Bukankah itu sudah menyalahi syari'ah? Kalau menurut saya, idealnya Islami itu ya syar'i, alias sesuai syari'ah.

Hanya memang kita tidak bisa menyebut, umpamanya, "lagu yang syar'i", karena musik sendiri masih diperdebatkan kehalalannya. Yang ingin saya katakan adalah, daripada sekadar berusaha tampil "Islami", bukankah lebih baik dan lebih utama memperjuangkan agar syari'ah Islam ditegakkan dan apapun yang kita lakukan bersifat syar'i?

Lagi-Lagi Fatwa...

tulisan ini 90% copas dari "seri" tulisan saya di Facebook)

Rasanya setahun belakangan ini muncul berbagai polemik tentang fatwa haram, terakhir yang saya ingat adalah tentang foto-foto pre-wedding. Saya tidak akan mengomentari soal itu lebih jauh, karena saya yakin Insya Allah teman-teman bisa menilai sendiri.

Yang mengganggu pikiran saya adalah betapa mudahnya keluar fatwa haram atas sesuatu di negara ini, atau mungkin lebih tepatnya betapa mudahnya media menjadikan suatu pernyataan menjadi fatwa tanpa penjelasan yang utuh. OK, mari kita bahas...

Apa itu fatwa?

Setahu saya fatwa adalah penegasan atas sesuatu yang sudah jelas halal atau haramnya. Fatwa adalah kewajiban para ulama untuk mengingatkan apabila umat Islam mulai lupa atau mengabaikan masalah halal dan haram.

Kalau pernyataan haram atau halalnya sesuatu yang belum jelas, umumnya karena pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alayhi wasallam hal tersebut belum ada contohnya, harus melalui suatu proses yang namanya ijtihad. Sesuai akar katanya (jihad), maka ijtihad adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh dalam rangka memutuskan suatu perkara, layaknya hakim yang akan menjatuhkan vonis. Sungguh-sungguh di sini artinya berusaha agar hasil ijtihad benar-benar sesuai Quran dan Sunnah, karena hasil ijtihad tersebut akan menjadi hukum yang harus dipatuhi oleh umat Islam.

Karena itu, ijtihad tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Rasulullah Shallallahu 'alayhi wasallam memperingatkan kita dengan keras agar tidak membuat keputusan atas suatu perkara yang kita tidak tahu benar tentang perkara tersebut, agar tidak menimbulkan fitnah.

Yang berhak melakukan ijtihad adalah ulama yang benar-benar faham (dan hafal tentunya) Quran dan Sunnah, serta ijma' para Shahabat. Imam Bukhari saja, yang tidak kita ragukan hafalannya, selalu mendirikan shalat 2 rakaat sebelum meriwayatkan suatu hadits, karena beliau sangat menyadari bahwa hadits yang beliau riwayatkan akan dijadikan dasar hukum bagi umat Islam.

Hasil ijtihad baru bisa diumumkan sebagai fatwa apabila disepakati oleh para ulama dengan kriteria tersebut di atas, dan pada saat diumumkan maka hasil ijtihad tersebut menjadi hukum yang harus dipatuhi oleh umat Islam.

Nah, jika ada seseorang atau sekelompok orang yang mengeluarkan fatwa, harus dilihat dulu apakah pihak yang mengeluarkan fatwa tersebut cukup kredibel untuk diterima fatwanya. Karena kalau tidak, maka "fatwa" itu tidak lebih dari pendapat, yang tentunya hanya berlaku bagi dirinya sendiri beserta orang-orang yang menyetujui pendapat tersebut, sehingga tidak layak disebut fatwa. Apalagi jika pihak yang mengeluarkan "fatwa" menyatakan bahwa "fatwa"-nya tidak bersifat mengikat. Logikanya, kalau tidak mengikat, untuk apa mengeluarkan fatwa?

Kontroversi Fatwa di Media

Mengapa setiap berita mengenai fatwa di media massa selalu menimbulkan kontroversi? Sebabnya bisa berasal dari kedua sumber : Pihak yang mengeluarkan fatwa (misalnya MUI) dan media itu sendiri.

Jika fatwa MUI (yang disiarkan melalui media) selalu menimbulkan kontroversi, itu wajar, karena :
Pertama, MUI tidak punya kekuatan yuridis atau politis, tidak seperti di Iran yang balon presidennya saja diseleksi dulu oleh "MUI"-nya, karena Indonesia bukan negara yang berkonstitusi Hukum Islam;
Kedua, Umat Islam di Indonesia sangat beragam pemahamannya, sementara MUI belum dipandang cukup mewakili seluruh Umat Islam di Indonesia, begitupun ormas-ormas Islam lainnya.

Bukan berarti MUI tidak perlu mengeluarkan fatwa. Justru itu tugas mereka untuk mengingatkan Umat Islam Indonesia demi kemaslahatan Umat Islam itu sendiri (paling tidak menurut mereka).

Yang sesungguhnya menjadi masalah adalah cara media massa menyiarkan fatwa-fatwa tersebut. Seringkali judul berita tidak sepenuhnya mencerminkan isi beritanya, untuk tidak mengatakan "menyesatkan". Sebuah penelitian oleh para ahli komunikasi massa telah membuktikan bahwa judul yang berbeda akan menimbulkan sikap pembaca yang berbeda, walaupun teks isi beritanya sama persis!

Bisa saja media tidak sengaja melakukan kekeliruan dalam pemberitaan sehingga menimbulkan kontroversi, tetapi itu adalah suatu kesalahan profesional yang bisa memberi dampak material bahkan hukum pada media tersebut.

Yang lebih mungkin adalah media sengaja memilih dan menyampaikan berita sedemikian rupa agar menimbulkan kontroversi. Dalam ilmu komunikasi, hal ini terkenal sebagai teori Agenda Setting.

Ada beberapa alasan media melakukan Agenda Setting :
  1. Alasan Komersial. Media massa umumnya hidup dari iklan, dan pemasang iklan baru akan memasang iklan jika media yang bersangkutan menarik banyak konsumen. Salah satu jenis berita yang dianggap banyak menarik perhatian konsumen adalah berita yang kontroversial, karena kontroversi akan menimbulkan polemik, dan polemik itupun akan menjadi berita tersendiri yang akan terus diikuti perkembangannya.
  2. Alasan Politis atau Ideologis. Tidak ada media massa yang benar-benar independen. Setiap media massa sedikit banyak (ingin) menampilkan pola pikir dan sikap pemilik, direksi, atau redaksinya. Kalau di surat kabar, sikap itu bisa dibaca dengan jelas pada editorial (tajuk rencana). Selain itu, ya pada berita yang disiarkan beserta cara penyampaiannya.
Alasan politis atau ideologis ini yang sebenarnya lebih "berbahaya", apalagi jika suatu media massa merasa perlu "menjatuhkan lawan" politis / ideologisnya. Dan ini terjadi di seluruh dunia, termasuk media massa internasional dan multinasional.

Efek Kontroversi Fatwa

Seorang teman saya pernah mengatakan bahwa kontroversi dan polemik itu perlu. Kalau tidak ada kontroversi, mungkin tidak akan ada bahan diskusi yang seru.

Saya mencoba menarik kesimpulan dari perkataan teman saya itu, bahwa kontroversi mengenai fatwa di media dapat berefek positif maupun negatif. Efek positifnya antara lain :
  1. Menyadarkan kita akan adanya masalah yang mungkin masih bersifat syubhat, sehingga mendorong kita untuk berhati-hati dalam menyikapi masalah yang melatarbelakangi munculnya fatwa (atau pendapat) yang disebarluaskan melalui media.
  2. Mendorong orang-orang awam seperti saya untuk membuka-buka referensi mengenai masalah yang "difatwakan" untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai masalah tersebut. Dengan kata lain, kontroversi punya potensi untuk mencerdaskan masyarakat.
Efek positif no. 2 di atas umumnya lebih banyak terjadi di negara-negara yang masyarakatnya lebih dewasa dalam menyikapi suatu isu (bukan hanya lebih berpendidikan). Contohnya ketika MUI mengumumkan bahwa bumbu penyedap Ajinomoto mengandung zat yang diharamkan, banyak orang Jepang yang lantas tertarik untuk mempelajari Islam agar dapat memahami alasan diharamkannya zat tersebut.

Sedangkan efek negatifnya antara lain :
  1. Menimbulkan konflik terbuka yang berpotensi kekerasan. Dapat terjadi apabila suatu fatwa menyangkut satu atau lebih golongan yang spesifik. Biasanya efek ini tidak berlangsung lama. Misalnya fatwa yang menyatakan Ahmadiyah sebagai ajaran sesat.
  2. Memunculkan kesan negatif terhadap Islam, khususnya para ulama. Bisa disebut efek jangka menengah, karena masih ada kemungkinan untuk koreksi atau klarifikasi.
  3. Menyebabkan kebosanan (karena terlalu seringnya muncul polemik mengenai fatwa) yang kemudian menjadi sikap apatis dan tak acuh terhadap setiap pemberitaan mengenai fatwa. Ini adalah efek yang paling serius karena dapat bersifat jangka panjang.
Efek-efek negatif di atas merupakan bentuk reaksi emosional yang muncul dari khalayak yang berpendidikan rendah atau kurang dewasa dalam menyikapi isu (misalnya di Indonesia), kecuali efek negatif no. 3 yang justru banyak melanda kalangan berpendidikan tinggi. Efek tersebut berbahaya karena dapat berakibat diabaikannya fatwa-fatwa yang benar-benar menyangkut kemaslahatan Umat Islam, sehingga justru merugikan Umat Islam sendiri.

Jadi mudah disimpulkan bahwa sikap terbaik yang bisa diambil terhadap kontroversi fatwa adalah meningkatkan pemahaman kita tentang masalah yang difatwakan guna menghindari reaksi emosional yang justru berpotensi merugikan diri sendiri.

Jadi Gimana Dong?

ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

"Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS 16:125)

Ayat inilah yang seharusnya menjadi pedoman para ulama dalam menyampaikan fatwa, bahkan dalam situasi tertentu mungkin lebih baik tidak menggunakan istilah "fatwa" atau "haram".

Misalnya fatwa haramnya rokok. Dalam hal ini sebetulnya ulama Indonesia ketinggalan dari ulama-ulama Arab Saudi, Malaysia, dll. yang sudah lebih dulu mengharamkan rokok. Tetapi karena ulama di negara-negara tersebut juga tidak punya kekuatan politik, akhirnya fatwa itu seakan-akan hanya himbauan. Berbeda dengan Singapura yang, ironisnya, berani melarang rokok dengan sanksi yang tegas, walaupun mereka bukan Muslim.

Masalahnya Indonesia adalah, seperti kata Taufiq Ismail, "surganya para perokok". Kalau rokok langsung dinyatakan haram, pasti akan mendapat perlawanan atau fatwa tersebut tidak diacuhkan seperti yang saya bahas pada bagian sebelumnya. Menurut saya, dalam kasus ini akan lebih baik kalau para ulama mencontoh proses pengharaman khamr oleh Allah sebagaimana terdapat dalam Quran.

Prosesnya kira-kira begini :
Ulama yang merokok berhenti merokok dulu, lalu mengkaji hal-hal apa yang membuat rokok itu haram (alias mudharat-nya), seperti zat-zat beracun yang terkandung di dalamnya, efeknya pada kesehatan (termasuk pada perokok pasif), pemborosan uang untuk membelinya, sifat mubadzir-nya, dll. Nah itu dulu yang dikampanyekankan ke masyarakat, tanpa perlu embel-embel "haram".

Itu cuma contoh. Singkatnya, ada beberapa saran yang bisa saya berikan:
  1. Selain mengkaji halal atau haramnya sesuatu, perlu dikaji juga bagaimana menyampaikannya pada masyarakat, sebagai penerapan "da'wah bil-hikmah wal-mau'izhatil-hasanah" pada ayat di atas.
  2. Kesampingkan gengsi sebagai "yang lebih tahu tentang halal dan haram", doronglah masyarakat agar ikut mengkaji mengenai masalah yang bersangkutan.
  3. Berhati-hatilah dalam mengeluarkan pernyataan melalui media, agar kemungkinan distorsi bisa diminimalkan. Kalau memungkinkan, adakan satu bentuk media sendiri yang dapat langsung menjangkau khalayak.
Sedangkan untuk media, saya cuma bisa mengingatkan :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti (fatabayyanu), agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." (QS 49:6)

Wallahu a'lam

Jumat, 12 Februari 2010

The Copy-Paste Culture

"Izin copas ya..."

Begitulah komentar yang suka muncul kalau lagi ada tulisan yang menarik, apa itu di notes atau di link atau di status Facebook teman. Buat yang belum tahu (tapi sudah bisa menebak dari judulnya), copas itu akronim dari copy - paste. Caranya, blok tulisannya, tekan Ctrl-C atau klik kanan terus copy, terus di tempat kita mau naruh tulisan itu, ketik Ctrl-V atau klik kanan terus paste (lho koq malah ngajarin? kayak yang pada belum tahu aja...)

Teman saya di Facebook pernah bilang, entah dia mengutip dari siapa, "Budaya copy-paste bikin malas menulis."
Buat yang bercita-cita jadi penulis atau kolumnis atau wartawan, camkan itu baik-baik! ^^ Tapi kalau buat "orang awam" atau para pencari ilmu, "budaya" ini sangat berguna untuk transfer ilmu. Cuma yang jadi masalah kalau copy-paste-nya tidak mencantumkan sumber, sehingga orang lain menganggap bahwa itu murni tulisan copier-nya. Jadi kalau mau copas, jangan lupa cantumkan sumbernya. Atau yang lebih gampang ya di-share aja...

Jujur saja, saya juga suka copas, terutama kalau isinya kajian dari Quran dan hadits, dan Insya Allah selalu saya cantumkan sumber atau penulisnya. Di blog ini Insya Allah tidak akan ada copas
dari tulisan orang lain kecuali dari notes di Facebook saya yang saya tulis sendiri... :)

Yang pasti dilarang copas sewaktu ujian! Apalagi UN, bikin greget aja! :P