Sabtu, 12 Juni 2010

facebook vs millatfacebook : sebuah catatan pinggir

Sejak serangan Yahudi Zionis (saya tidak sudi menyebut mereka Israel karena Israel adalah nama lain Nabi Ya'qub 'alayhissalam) ke kapal bantuan kemanusiaan untuk rakyat Palestina di Jalur Gaza yang bernama Mavi Marmara, muncul (kembali) seruan untuk memboikot produk-produk perusahaan-perusahaan yang (ditengarai) mendanai militer Zionis, termasuk di antaranya facebook yang diciptakan oleh Mark Zuckerberg, seorang Yahudi tulen.

Lalu muncullah nama millatfacebook, sebuah situs "tandingan" facebook khusus muslim yang dibuat oleh beberapa pemuda muslim Pakistan. Lantas gencar bermunculan seruan untuk "hijrah" dari facebook (fb) ke millatfacebook (mfb). Saya pribadi termasuk yang sudah membuat akun di mfb, tetapi tanpa menghapus akun di fb, karena niat saya sekadar memperluas jaringan silaturahim dengan umat Islam sedunia (karena alasan itu pula saya membuat akun di beberapa situs jejaring sosial khusus muslim, baik lokal maupun global).

Yang membuat situasi semakin "ramai" adalah tersiarnya kabar (termasuk oleh admin mfb sendiri) bahwa situs mfb atau yang berkaitan dengannya di-hack oleh orang-orang fb yang bersekongkol dengan orang-orang Yahoo! (kedua perusahaan ini memang bekerjasama), ditambah lagi dengan timbulnya keraguan bahwa mfb benar-benar dibuat oleh pemuda muslim Pakistan (walaupun yang terakhir ini sudah diklarifikasi oleh admin mfb, antara lain bisa dibaca di sini).

Masalah Kualitas

Jauh sebelum saya mengenal mfb, saya sudah lebih dulu membuat akun di situs jejaring sosial muslim yang bernama madina.com, dan sempat "agak aktif" di dalamnya untuk beberapa waktu. Sayangnya, mungkin karena tidak ada peristiwa pemicu seperti insiden Mavi Marmara, situs ini kurang populer di kalangan umat Islam dunia, walaupun dari dulu sudah dipromosikan oleh adminnya lewat facebook.

Lalu setelah mfb, beberapa saudara seiman memperkenalkan situs-situs jejaring sosial muslim lainnya, seperti Muslims Book (internasional), Ikhwahfillah dan RuangMuslim.com (lokal). Maka sayapun membuat akun di masing-masing situs, kembali dengan niat yang tadi, menjalin silaturahim.

Memang pada kenyataannya saya jauh lebih aktif di fb, selain karena repot mengecek banyak akun sekaligus (makanya saya hapus akun saya di friendster mengikuti jejak teman saya Wahyu), juga karena masalah klasik lainnya, yaitu user friendliness atau istilah resminya di wikipedia: usability (thanks to Wahyu, again).

Jujur saja, masalah madina.com dan mfb pada dasarnya sama: interface yang kalah user friendly dibanding fb, waktu loading yang lama, dan tidak bisa diakses dari HP. Sedangkan yang lokal sebenarnya lebih unggul dalam hal kecepatan akses (khusus RuangMuslim saya anggap cukup user friendly, sedangkan Ikhwahfillah unggul dalam hal tampilan yang lebih "Islami"). Tapi ya itu, lokal, alias bahasa pengantarnya cuma bahasa Indonesia (dan tidak bisa diakses lewat HP juga), walaupun itu tidak jadi masalah buat saya yang 99% teman saya berbahasa Indonesia...

Buat saya, kurang berhasilnya seruan boikot produk perusahaan pro-Zionis juga berasal dari masalah yang sama, yaitu kekurangmampuan para pengusaha muslim untuk menghasilkan dan memasarkan produk-produk yang mampu bersaing secara kualitas maupun kuantitas. Seharusnya penindasan Zionis terhadap muslimin Palestina menjadi motivasi bagi umat Islam untuk merebut kekuasaan ekonomi dari tangan Barat, tentunya sesuai syari'at Islam.

Euforia

Bagi saya, permasalahan sebenarnya adalah seperti yang sudah-sudah, yaitu bahwa kaum muslimin melakukan sesuatu hanya berdasarkan euforia sesaat, tanpa dasar yang benar-benar kuat sesuai syari'at Islam itu sendiri. Buktinya, saat tulisan ini dibuat, saya lihat seruan dan ajakan untuk "hijrah" ke mfb mulai meredup (walaupun masih ada yang gigih berusaha), perlahan-lahan terbenam oleh berita kasus video porno mirip artis, dan tentu saja, Piala Dunia... Kebanyakan tindakan tersebut hanya bersifat reaktif terhadap suatu peristiwa, bahkan hanya berdasarkan isu yang tidak jelas kebenarannya.

Kenapa ini yang jadi masalah? Karena kita harus ingat bahwa sesungguhnya setiap perkataan dan perbuatan kita berikut alasannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Bayangkan, bagaimana jika kita ditanya, "Kenapa berbuat begini?" lalu kita jawab "Karena mereka begitu," lalu ditanya lagi, "Dari mana kamu tahu mereka begitu? Apa buktinya?" lantas tidak bisa kita jawab, celakalah kita!

Maka ketika kita akan mengambil sikap, kita harus benar-benar yakin dasar sikap kita adalah benar, antara lain dengan melakukan tabayyun (silakan baca entri blog saya sebelum ini), agar kita tidak malah menyusahkan diri sendiri apalagi saudara kita sesama muslim.

Lebih-lebih lagi ketika saya menemukan bahwa sebagian saudara kita yang mengajak "hijrah" berencana untuk menyebarkan virus di fb. Saya tidak tahu efek virusnya seperti apa, tetapi sadarkah mereka atas mudharat yang mungkin akan mereka timpakan pada saudara-saudara mereka pengguna fb, terutama yang aktif berda'wah atau mencari ilmu di dalamnya? Apakah mereka siap mempertanggungjawabkannya?

Karena itu saya lebih menghargai pendapat sebagian muslim pengguna fb yang menyarankan agar tidak usah menghapus akun fb, tetapi justru semakin gencar memenuhi fb dengan syi'ar Islam. Termasuk di antara mereka adalah admin madina.com, yang "mencanangkan" tanggal 20 Mei 2010 kemarin sebagai "Everybody Introduce Prophet Mohammed Day", antitesis dari "Everybody Draw Mohammed Day".

(Mengenai event kontroversial itu, banyak orang Amerika sendiri, baik muslim maupun bukan, yang menganggapnya tindakan bodoh, sebagian di antara komentar mereka bisa dibaca di sini.)

So?

Menurut saya, bebas-bebas saja mau membuat akun di situs jejaring sosial manapun, yang penting niatnya. Gratisan ini koq. Kecuali situs yang adminnya
(bukan penggunanya) terang-terangan membawa misi permusuhan atau indoktrinasi atau hal-hal berbau maksiat dsb, ya janganlah membuat akun di situ.

Yang mungkin perlu ditekankan di sini adalah kehati-hatian dalam menggunakan situs jejaring sosial, terutama masalah privasi. Banyak orang Amerika sendiri yang mengancam keluar dari fb karena mudahnya data pribadi di fb bocor ke pihak lain. Karena itu pula mfb menjanjikan privacy setting yang lebih ketat bagi para user-nya. Gampangnya sih, jangan memasukkan info yang sifatnya pribadi ke dalam akun, kecuali yang memang kita anggap boleh diketahui orang lain yang tidak kita kenal (sesuai pedoman Islam tentunya).

Lagipula, kalaupun tidak punya akun di situs jejaring sosial manapun, tidak masalah. Toh masih banyak cara berkomunikasi lain di internet, belum lagi lewat HP dsb. Justru dengan memiliki akun di situs jejaring sosial seperti fb, muncul ancaman pemborosan waktu dan efek "kecanduan" alias ketergantungan terhadapnya. Sudah terlalu banyak contoh ketergantungan pada teknologi komunikasi yang berdampak luar biasa negatif di seluruh dunia.

(Soal ini, saya teringat satu episode kuis Super Family yang salah satu pertanyaannya kira-kira, "Benda apa yang orang tidak bisa hidup tanpanya?" Ternyata hasil survey tertinggi adalah ponsel! mengalahkan udara dan air yang ada di peringkat 4 dan 5...)

Begitulah, sebelum saya melantur terlalu jauh... Mudah-mudahan ada manfaatnya.

Wallahu A'lam

Senin, 03 Mei 2010

Jangan Panggil Aku

Kepada saudaraku seiman,
aku minta padamu,

Jangan panggil aku ustadz
sebelum kau tahu ilmu di otakku,

Jangan sebut aku 'alim
sebelum kau tahu isi otakku,

Jangan katakan aku sholeh
sebelum kau tahu isi hatiku.

Jangan kau puji-puji aku,
karena semua itu racun bagi hatiku.

Jangan buat aku tidak ikhlash,
Jangan buat aku riya',
Jangan buat aku mengharapkan pujian manusia.

Kau boleh panggil aku fasiq,
Kau boleh sebut aku zhalim,
Kau boleh katakan aku munafiq,
agar aku senantiasa teringat
untuk menjauhi semua sifat itu.

Tapi jangan kaupanggil aku kafir,
kecuali kutampakkan jelas
kekufuran itu.

Jangan pula kausebut aku musyrik,
tapi cukup kautunjukkan padaku
jebakan-jebakan syirik.

Aku ini belum apa-apa,
Aku ini cuma thalib biasa,
Aku ini masih terlalu jauh dari surga.

Ingatkan aku,
Nasihati aku,
Ajari aku ilmu,
Itulah yang aku butuhkan darimu,

Saudaraku...

Kamis, 29 April 2010

Cek & Ricek

Bukan, ini bukan tentang infotainment (:P ada sih sedikit tentang itu nanti), ini tentang sesuatu yang kerap terlupakan pada era informasi seperti sekarang.

Dalam Al-Quran, istilahnya adalah "tabayyun":
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْماً بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu."
(QS Al-Hujurat 49:6)
Istilah lainnya, ada "cross-checking", "klarifikasi", dlsb. Intinya adalah memeriksa kembali kebenaran suatu berita yang sampai pada kita. Tujuannya seperti yang disebutkan dalam ayat di atas, agar tidak menimbulkan musibah kepada suatu kaum (masyarakat), apapun bentuknya. Prinsipnya sederhana, yaitu selama sumber yang ada belum cukup valid, harus selalu mencari sumber lain yang lebih tinggi atau minimal setingkat kredibilitas dan keabsahannya (second view) sebelum mempublikasikan berita ybs. Sebisa mungkin sumber tersebut objektif, tetapi jika tidak bisa, maka minimal mewakili setiap pihak yang berseberangan dalam masalah yang diberitakan (both sides of the story).

Saya melihat bahwa tabayyun sewajibnya dilakukan terutama terhadap tiga macam berita:

1. Aktualita
Yang dimaksud di sini adalah peristiwa yang relatif belum lama terjadi. Bahkan di zaman satelit & internet seperti sekarang ini, berarti termasuk peristiwa yang baru saja terjadi. Informasi paling aktual adalah komoditi setiap media massa, terutama stasiun-stasiun televisi. Tiap stasiun berlomba-lomba menghadirkan liputan paling aktual selengkap-lengkapnya. Tetapi justru di sinilah potensi terjadinya kesalahan informasi, karena mengabaikan tabayyun alias cek & ricek tadi.

Masih ingat kesalahan pemberitaan oleh sebuah stasiun televisi mengenai terbunuhnya Noordin M. Top? (saya jelas masih ingat, karena kasus itu dijadikan soal dalam Tugas Akhir Program saya ^^) "Kebetulan" stasiun televisi yang sama kemudian melakukan lagi kesalahan yang lebih serius, yaitu menghadirkan narasumber yang mengaku makelar kasus (markus), padahal ternyata bukan, alias markus palsu! Selain itu, mungkin tidak banyak yang memperhatikan, tetapi saya pernah melihat berita pada newsticker stasiun itu yang menurut saya terlalu mudah men-generalisir pelaku kerusuhan dalam suatu pertandingan yang baru terjadi (tidak semua bobotoh itu Viking, kawan).

Ironisnya, stasiun televisi tersebut mengkhususkan diri pada berita.

Tapi ada dua jenis berita yang tidak perlu diklarifikasi -- bahkan seharusnya tidak diberitakan -- yaitu:
  1. Infotainment (sampai sekarang saya masih tidak mengerti di mana letak entertainment-nya) alias berita seputar selebritis. Masalahnya, mayoritas berita tentang selebritis adalah mengenai kehidupan pribadinya (termasuk aib-aibnya), dan banyak di antaranya masih berupa gosip.
  2. Isu tentang maksiat yang dilakukan oleh seseorang atau golongan tertentu.
Dasarnya adalah QS Al-Hujurat ayat 12:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang."

2. Sejarah
Kadang saya bertanya-tanya, adakah buku pelajaran sejarah di suatu negara yang tidak hanya menceritakan "kehebatan" tokoh-tokoh historis negara itu, tetapi juga menceritakan kekurangan atau kesalahan tokoh-tokoh tersebut (sebagai pelajaran kepada generasi berikutnya agar tidak mengulanginya lagi)? Saya melihat bahwa banyak tulisan tentang sejarah yang isinya cenderung memihak, kalau tidak menyanjung-nyanjung atau membela tokoh-tokoh atau golongan tertentu, ya menjelek-jelekkan tokoh-tokoh atau golongan lain. Dan menurut saya, inilah salah satu faktor perpecahan umat Islam (dan umat-umat lain).

Jelas bahwa dalam hal ini, QS Al-Hujurat ayat 6 dan 12 ("jauhilah kebanyakan dari prasangka") juga berlaku. Tabayyun dalam mempelajari sejarah amat penting, agar kita tidak mendapatkan gambaran yang salah tentang peristiwa-peristiwa atau tokoh-tokoh penting di masa lalu, sehingga kita bisa mengambil pelajaran darinya.

Kita bisa belajar tentang hal ini dari Ibnu Katsir misalnya, bagaimana beliau dengan teliti memilah-milah sumber-sumber yang bisa dipercaya, sehingga menghasilkan karya seperti Al-Bidayah wan-Nihayah (Awal dan Akhir) atau Qashashul-Anbiya (Kisah Para Nabi). Selain itu, ada satu bangsa yang menurut saya cukup objektif dalam menuliskan sejarah bangsanya, yaitu bangsa Jepang.

Bagaimana dengan Indonesia? Disinyalir bahwa para pencatat sejarah di masa feodal kerajaan-kerajaan (termasuk pada masa kerajaan-kerajaan Islam) di Indonesia menulis untuk menyenangkan raja. Siapapun yang menulis tentang kekurangan atau kesalahan raja, dihukum berat. Apalagi zaman penjajahan. Maka sampai sekarang sulit untuk menemukan catatan-catatan sejarah Indonesia yang benar-benar valid dan objektif.

3. Hadits
Buat saya, sebagai seorang muslim, masalah inilah yang paling penting. Rasulullah Shallallahu 'alayhi wasallam bersabda,
“Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka hendaklah ia mengambil tempat tinggalnya di neraka.” (HSR Al-Bukhary & Muslim)
Yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah hadits-hadits palsu (dianggap berasal dari Nabi Shallallahu 'alayhi wasallam padahal tidak). Saking banyaknya hadits-hadits dha'if (lemah) dan maudhu (palsu), sampai-sampai Syaikh Nashiruddin Al-Albany berhasil mengumpulkannya dalam 14 jilid buku Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu! Contoh-contohnya bisa dilihat di sini (harap diperhatikan bahwa sebagian komentar-komentar terhadap "hadits-hadits" yang disebut di sini masih dalam wilayah ijtihad):
http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/98
http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/104
http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/121
http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/148


Mengapa ancamannya demikian keras? Ada dua hikmah yang bisa saya ambil di sini:
  1. Bayangkan saja, misalnya, teman Anda mengatakan pada seorang lawan jenis Anda (katakanlah namanya Dwi) bahwa Anda ingin "nembak" dia, padahal yang Anda taksir adalah orang lain (katakanlah namanya Tri). Kira-kira bagaimana perasaan Anda ketika Dwi tiba-tiba menolak atau menerima "tembakan" yang dikiranya dari Anda, di hadapan Anda dan Tri pula, padahal Anda tidak tahu-menahu soal itu? Tentu timbul fitnah. Maka sungguh keterlaluan jika seorang muslim menimbulkan fitnah terhadap junjungannya (Nabi Muhammad Shallallahu 'alayhi wasallam) karena menyampaikan kata-kata yang dikiranya berasal dari beliau padahal bukan.
  2. Kata-kata, perilaku, dan sikap Rasulullah Shallallahu 'alayhi wasallam memiliki implikasi hukum. Perintah beliau minimal bernilai sunnah, sedangkan larangan beliau minimal bernilai makruh. Hadits palsu bisa menyebabkan sesuatu yang mubah jadi dianggap sunnah atau makruh -- yang berarti menambah beban ibadah seorang muslim -- bahkan bisa menyebabkan suatu bid'ah dianggap syar'i (sesuai syari'at Islam).
Kita ambil contoh hadits palsu berikut:
"Cinta tanah air sebagian dari iman."
Jika ini benar hadits Nabi Shallallahu 'alayhi wasallam, maka "cinta kepada tanah air" menjadi sesuatu yang disunnahkan bahkan diwajibkan, karena tanpanya iman seseorang takkan lengkap. Padahal cinta kepada tanah air adalah hal yang mubah (diperbolehkan tanpa ada konsekuensi mendapat pahala atau dosa), sebagaimana kecintaan kepada harta, keluarga, teman-teman, dll. selama tidak melebihi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alayhi wasallam. Dan tidak ada satupun 'ulama ahli hadits yang bisa menunjukkan sanad (mata rantai periwayatan hadits) yang shahih sampai ke Rasulullah Shallallahu 'alayhi wasallam atas perkataan itu, bahkan disinyalir kata-kata tersebut adalah buatan orang Yahudi.

Contoh lain yang tidak tercantum dalam link-link di atas adalah kata-kata terkenal berikut:
"Kami adalah kaum yang tidak makan sampai kami lapar, dan apabila kami makan tidak sampai kenyang."
Ini bukan perkataan Nabi Shallallahu 'alayhi wasallam, walaupun matan (isi) "hadits" tersebut dianggap baik. Imam As-Suyuthi menyebutkan bahwa ini adalah kata-kata seorang tabib alias dokter dari Sudan ketika diminta advisnya oleh Kisra Persia tentang cara menjaga kesehatan tanpa efek samping (silakan cari riwayatnya di google, buanyak yang menceritakannya).

Masalahnya, jika perkataan itu dianggap berasal dari Nabi Shallallahu 'alayhi wasallam, maka orang-orang yang makan sampai kenyang dianggap tidak termasuk umat Nabi Muhammad Shallallahu 'alayhi wasallam. Hal ini kontradiktif dengan hadits-hadits shahih yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alayhi wasallam membiarkan bahkan pernah menyuruh Sahabat makan atau minum sampai kenyang. Yang tidak diperbolehkan adalah makan atau minum sampai kekenyangan, dan dasarnya adalah ayat Quran (Al-A'raf ayat 31).

Karena itu, penting bagi seorang muslim untuk bersikap kritis ketika ia mendengar atau membaca suatu hadits, apalagi jika periwayatannya tidak jelas (cuma dibilang "kata Nabi" atau "riwayat Fulan" tanpa menyebutkan sanadnya shahih atau tidak). Sudah seharusnya ia melakukan tabayyun kepada para 'ulama ahli hadits atau minimal kepada orang-orang yang merujuk kepada mereka (silakan cari lagi di google), sekali lagi agar tidak menimbulkan fitnah.

Demikianlah uraian singkat ini, mudah-mudahan ada manfaatnya. Kalau ada yang salah dalam tulisan ini, tolong sampaikan koreksi kepada saya. Zadanallahu 'ilman wahirshan

Kamis, 08 April 2010

Tentang Seleb

Pengen jadi seleb?
Biar saya kasih tau, apa yang saya liat
dari kehidupan seorang seleb

Seorang seleb
dibayar untuk berdusta,
apakah untuk iklan atau promosi
atau sekadar canda dan basa-basi

Seorang seleb
dibayar karena berani
mempertontonkan aurat,
melakukan perbuatan-perbuatan terlaknat,
dengan alasan profesionalisme atau seni
seakan keduanya adalah tuhan atau kitab suci

Seorang seleb
dibayar untuk melanggar
prinsip-prinsipnya sendiri
demi kepentingan si pembayar

Seorang seleb
dibayar untuk mengabaikan
agama dan keyakinannya
untuk mempertahankan popularitas
atau sekadar menepati jadwal aktivitas

Seorang seleb
harus membayar semua itu
dengan merelakan
kehidupan pribadinya, keluarganya, anak-anaknya,
menjadi santapan publik,
bukan lagi menjadi miliknya

Seorang seleb
harus membayar semua itu
dengan rajin-rajin ke salon, fitness, atau dokter pribadi
karena ia harus menjaga penampilan
walaupun dengan mengorbankan kesehatan

Seorang seleb
harus membayar semua itu
dengan meninggalkan kehidupan orang biasa,
bersama keluarganya
menuju kehidupan yang glamor
penuh maksiat dan kepalsuan

Seorang seleb
harus membayar semua itu
ketika ia tak dapat bertahan lama,
kesepian dan kekurangan di hari tua

Dan pada akhirnya,
seorang seleb
dengan segala kesibukan dunianya,
sama dengan semua orang lainnya,
harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya
di hadapan Sang Maha Pencipta

Maka beruntunglah
seorang seleb
yang masih sempat bertaubat,
masih sanggup meninggalkan itu semua,
walaupun perjuangan untuk meninggalkannya
ternyata lebih berat daripada memasukinya

Masih pengen jadi seleb?
Tolonglah Kawan, pikirkan lagi...

Jumat, 26 Maret 2010

The Copy-Paste Culture Continues...

Wah, udah UN lagi ya? Padahal masih bulan Maret...
Ingat "keluhan" saya di akhir tulisan yang pertama? Nah, saya mau membahas lebih banyak tentang itu, walaupun mungkin agak telat buat teman-teman SMA yang baru selesai UN (maaf ya...)

Beberapa tahun belakangan ini memang seakan jadi "tradisi" bahwa setiap penyelenggaraan UN diwarnai kecurangan sistematis luar biasa berupa kebocoran soal atau kunci jawaban, yang sampai melibatkan guru-guru, para kepala sekolah, hingga jajaran Dinas Pendidikan. Konon bahkan sampai jadi "bisnis" tersendiri. Tahun ini memang tidak seheboh tahun-tahun yang lalu, walaupun masih ada indikasi kecurangan di sana-sini.

Ya, inilah yang saya sebut budaya copas (copy-paste) yang negatif bahkan destruktif. Tidak perlu susah-susah mengingat-ingat teori-teori, tanggal-tanggal dan nama-nama, apalagi menghitung. Cukup buka SMS atau selembar kertas kecil yang bisa bernilai jutaan rupiah, tinggal di-copas secara manual, beres! Sesederhana itu? I don't think so...

Apa sih penyebab semua kecurangan itu?

Kalau saya ingat dulu zaman saya SMA, saya dan teman-teman seangkatan tidak begitu mengkhawatirkan EBTANAS ("kakaknya" UN). Bagi kami UMPTN ("kakaknya" SNMPTN) masih lebih mengerikan. Tetapi bukannya kami tidak serius belajar dalam menghadapi EBTANAS (gengsi dong), hanya saja kami masih bisa tertawa-tawa melihat hasilnya ("Haha, tekor euy, dulu NEM SMP 52 dari 6 mata pelajaran, sekarang NEM SMA 49 dari 7 mata pelajaran..." atau "Weiss, kenapa mafiki dapet 7 tapi biologi dapet 4? emang parah nih hafalannya..."), dan langsung konsentrasi menghadapi UMPTN.

Apa dulu tidak ada kecurangan? Ada saja, hanya jumlah pelakunya tidak signifikan dan dilakukan oleh siswa sendiri, paling banter pakai joki waktu UMPTN. Tetapi kenapa begitu kebijakan UN diberlakukan, mayoritas yang jujur jadi minoritas, sedangkan minoritas yang curang jadi mayoritas, didukung oleh guru-gurunya pula? Kenapa UN bisa menjadi "hantu" yang begitu menakutkan hingga para siswa berani mengambil risiko musyrik dengan berdo'a bersama di makam wali? (Kenapa harus di makam wali kalau berdo'a di masjid jelas-jelas lebih mustajab? Maaf, jadi agak melenceng ^^)

Ada satu karakter bangsa Indonesia yang menjadi perhatian saya sejak lama (mungkin termasuk saya sendiri), yaitu keinginan untuk mendapatkan segala sesuatu dengan cara yang mudah, halal urusan belakangan. Saya melihat hal ini antara lain dari begitu suburnya kuis dan undian berhadiah di negeri ini (pertanyaan gampang, jawaban disediakan, hadiahnya jutaan) sampai ke begitu mendarahdagingnya korupsi di segala level.

Lalu bubarlah Orde Baru, lahirlah kebebasan yang belum pernah dirasakan rakyat Indonesia, dan timbullah kesempatan-kesempatan baru. Sayangnya, karena karakter yang saya sebutkan tadi, orang-orang malah menggunakan kesempatan itu untuk menghalalkan segala cara untuk mencapai kekayaan, kekuasaan, dll. untuk diri, keluarga, atau golongannya sendiri, walaupun itu dengan merampas hak saudaranya sendiri.

Di sisi lain, pemerintah merasa bahwa bangsa Indonesia belum cukup mampu bersaing, apalagi dalam menghadapai era perdagangan bebas sebentar lagi. Maka pemerintah lantas menaikkan standar pendidikan dengan kurikulum yang lebih padat (apa namanya sekarang? KTSP ya?), menjadikan UN sebagai syarat kelulusan dengan batas nilai minimal, menjadikan beberapa sekolah "berbasis internasional", dsb.

Nah, ketika kebijakan itu bertemu karakter negatif di atas, muncullah sisi buruk dunia pendidikan negeri ini dalam skala dan kecepatan yang luar biasa. Sampai-sampai para kepala sekolah dan guru-guru ikut terlibat di dalamnya, karena mereka berusaha mempertahankan peringkat dan reputasi sekolahnya. Ini merupakan akibat yang logis, karena pada masa-masa awal munculnya "kecurangan sistematis", rata-rata nilai UN siswa-siswa sekolah "pinggiran" tiba-tiba bersaing dengan rata-rata nilai UN di sekolah-sekolah favorit. Pernah saya lihat di TV, ada guru yang bilang kalau membantu murid sewaktu UN adalah tanggung jawab moral guru untuk meluluskan muridnya. (Kalau begitu untuk apa beliau susah-susah mengajar anak didiknya selama 3 tahun?)

"Emang kenapa?"

"Emang kenapa kalo saya pake kunci jawaban pas UN? Semua temen-temen juga pake. Si itu aja tuh yang ngga, da dia mah dari sononya juga udah pinter..."

Inilah beberapa akibat kecurangan dalam UN:

Beberapa tahun lalu, terjadi fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya, yaitu menurunnya minat terhadap SMA Negeri yang biasanya jadi favorit, sampai-sampai pada hari penutupan pendaftaran ulang, masih banyak kursi kosong di SMA-SMA tersebut. Begitu maraknya kecurangan UN, sehingga rata-rata nilai UN SMP membubung tinggi, yang tentu saja berdampak pada naiknya passing grade secara drastis. Akibatnya banyak orang tua khawatir nilai UN anaknya tidak cukup untuk diterima di SMAN favorit. Maka, untuk mengisi kekosongan kursi tersebut, SMA-SMA itu terpaksa diam-diam menerima siswa yang nilai UN-nya jauh lebih rendah dari passing grade SMA ybs. Artinya, nilai UN tidak lagi menjadi ukuran prestasi siswa.

(Saya teringat tahun 2005 waktu ibu saya mau mendaftarkan adik saya ke SMAN favorit, karena diperkirakan nilai UN-nya cukup berdasarkan data passing grade tahun sebelumnya. Ternyata passing grade SMA naik cukup jauh, sehingga akhirnya setelah gagal mendaftar ke beberapa SMAN, adik saya didaftarkan ke SMAN yang peringkatnya jauh di bawah.)

Ibu saya (beliau adalah seorang dosen) pernah mengeluh bahwa beberapa tahun belakangan, setiap tahun selalu ada saja mahasiswa yang ketahuan nyontek atau bekerjasama saat ujian atau
tugas perseorangan. Gimana ngga ketahuan? Soalnya essay, jawabannya ditulis tangan, tetapi kok bisa dua orang menjawab soal yang sama dengan jawaban yang sama persis kata-katanya, susunan kalimatnya, angka-angkanya, bahkan sampai sembilan angka di belakang koma! Dan itupun mahasiswa ybs. tetap menyangkal bahwa dia telah berlaku curang. Keluhan lainnya adalah bahwa mahasiswa sekarang sedikit yang mau bersusah payah mencari referensi di perpustakaan, kebanyakan meminta fotokopian materi kuliah saja dari dosen yang mengajar.

Menurut ibu saya, inilah akibat dari dibiasakannya siswa-siswa sekolah mendapatkan nilai bagus dengan cara yang gampang. Dan kalau kita lihat dalam konteks yang lebih luas, inilah mengapa korupsi begitu merajalela di negeri ini. Pokoknya tahu beres!

Akhir-akhir ini sedang ramai pemberitaan tentang dugaan korupsi yang dilakukan oleh seorang
pegawai Ditjen Pajak yang bernama Gayus Tambunan sebesar 25 milyar rupiah. Yang agak mengganggu pikiran saya adalah, umurnya cuma beda setahun sama saya! (Alhamdulillah, Ya Allah, Engkau tidak menjadikan saya seperti orang itu, dan saya mohon jangan sampai saya jadi orang yang seperti itu!) Saya jadi agak su'uzhan, seandainya UN sudah diberlakukan sejak zaman saya sekolah, mungkin dia termasuk yang mengambil "jalan pintas". Kalau memang demikian, apa jadinya para PNS dalam waktu sepuluh tahun nanti? Na'udzubillahi min dzalik...

Menyontek = Merampas hak orang lain

Ya, bagi saya, menyontek itu sama dengan mencuri, sama dengan merampok, sama dengan korupsi. Skalanya saja yang lebih kecil, tetapi dampak negatif bagi si penyontek maupun "korban"-nya tetap besar. Menyontek itu kezhaliman! Bagaimana tidak, siswa brilian yang seharusnya lebih layak bersekolah di SMA favorit, gagal diterima karena nilai UN-nya tidak melewati passing grade SMA tersebut, hanya karena ia bertahan dengan kejujurannya.

Maka tidak heran jika para siswa yang terbiasa menyontek itu suatu saat ketika dewasa melakukan plagiat, melakukan korupsi, bahkan terlibat mafia. Dan segala yang didapatkannya dengan cara tidak halal dan tidak barakah tadi pada akhirnya hanya akan memberatkan timbangan amal buruknya di Pengadilan Terakhir kelak.

Sadarlah teman-teman! Nilai UN seorang siswa yang menyontek bukanlah miliknya, tapi ia harus tetap mempertanggungjawabkannya di kemudian hari, dan penebusannya akan sulit sekali (syukur-syukur kalau dosanya masih bisa ditebus di dunia). Buat teman-teman SMP yang akan UN senin nanti, sadarilah bahwa UN itu adalah juga ujian kejujuran dan ujian kesabaran, yang akan berbekas seumur hidup pada diri kalian!

Buat yang berminat, supaya lebih mantap, ayo bergabung bersama Gerakan Anti Nyontek Pelajar Nasional! Ini link group Facebook-nya. Dengan bergabung, Insya Allah teman-teman akan mendapatkan pesan-pesan yang inspiratif yang bisa menjadi motivasi untuk berusaha dengan jujur dan sungguh-sungguh dalam menghadapi UN. Come on guys! I know you can do it!

Selasa, 02 Maret 2010

Chatting Penuh Hikmah

(satu lagi copas dari catatan saya di Facebook)

Suatu waktu, teman sekelas saya di SMA dulu mengajak chatting di FB (beliau lebih suka namanya tidak disebut agar tidak ujub). Teman saya itu ingin ngobrol dengan saya soal posting yang saya share.
(kalau mau tahu, ini linknya:
http://www.facebook.com/profile.php?id=1084713685&ref=ts#!/note.php?note_id=500978490174;
http://www.facebook.com/note.php?note_id=501002435174;
http://www.facebook.com/profile.php?id=1084713685&ref=ts#!/note.php?note_id=501012910174)

Kami sempat membahas tentang KPR (Kredit Pemilikan Rumah), bahwa KPR dari bank syari'ah sekalipun tetap tidak terlepas dari riba. Waktu itu saya bilang bahwa dalam masa-masa sekarang susah untuk memiliki rumah tanpa KPR. Teman saya lantas berkata kira-kira begini,

"Kalau kamu menganggapnya susah, maka itu akan benar-benar menjadi susah."

Kemudian ia menceritakan pengalamannya:

Beberapa waktu lalu teman saya ini berniat membeli rumah. Uang untuk membelinya sudah ada 50%, 50% lagi mau KPR dari bank. Kebetulan istrinya kerja di salah satu bank konvensional, jadi dapat fasilitas KPR ringan dari bank tersebut.

Nah, beberapa waktu sebelum akad, teman saya baru tahu bahwa bank itu lembaga ribawi dan dia diberitahu hadits ini:

"Riba itu (memiliki) tujuh puluh tiga pintu. Dan pintu (tingkatan) riba yang paling rendah adalah, seumpama seorang laki-laki berzina dengan ibu kandungnya sendiri.”
(HR Hakim, Ibnu Majah, dan Baihaqi)

Karena takut, teman saya lantas membatalkan rencana KPR dan menyuruh istrinya berhenti kerja di bank. Tetapi pada waktu itu ia belum punya alternatif lain untuk menutupi kekurangan 50% tadi, maka diapun berdo'a kepada Allah minta solusi.

Subhanallah, tidak lama kemudian dia mendapatkan pinjaman tanpa bunga dari kantornya sebesar kekurangan 50% itu, bahkan dia tidak diberi batas waktu pelunasan. Cukup dengan bekerja di kantor tersebut selama kurun waktu tertentu atau minimal sampai ia bisa melunasinya dengan tunai.

Begitulah ternyata, sesuai janji Allah:

وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْراً

"...Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." (QS 65:2-3)

وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً

"...Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya." (QS 65:4)

Malu sekali rasanya mendengar (atau lebih tepatnya membaca) kisah teman saya itu. Jujur saja, sewaktu di SMA dulu, saya sempat merasa lebih 'alim dari dia. Tetapi sekarang, saya merasa jauh tertinggal darinya. Teman saya ini sudah berhasil melepaskan diri dari dosa besar yang saya sendiri masih sulit untuk berlepas darinya. Semoga Allah merahmatinya dan menjadikannya tetap istiqamah, serta menolong saya, keluarga, dan teman-teman yang masih berkubang dalam maksiat kepada Allah, untuk kembali ke jalan-Nya yang lurus.

Mudah-mudahan kisah nyata ini bisa menjadi hikmah dan pelajaran bagi kita semua.

Senin, 15 Februari 2010

Religi, Islami, atau Syar'i?

(tulisan ini adalah copas dari catatan saya di Facebook)

Ada yang masih mengganjal dalam benak saya soal album religi, musik Islami, dll. Bukan masalah istilahnya, tetapi kenyataan yang tampak di balik itu.

Yang disebut album religi tentu bukan cuma yang "Islami", tetapi ada juga yang "Kristiani", seperti dapat kita lihat di toko-toko kaset & CD. Buat saya, yang menjadi masalah, ada kesan pola pikir sekuler dalam penerbitan sebuah album religi, terutama oleh artis Muslim yang biasanya menyanyikan lagu-lagu dengan tema bebas (mayoritas sih tentang cinta). Contohnya Ungu, Gigi, dll. Mengapa sekuler? Karena ada kesan bahwa artis tersebut bersikap "Islami" hanya ketika menyanyikan lagu-lagu religi.

Bandingkan dengan Opick yang pada awalnya menyanyikan lagu-lagu dengan tema bebas. Ketika ia berubah haluan ke lagu-lagu yang Islami, ia memilih bersikap konsisten, termasuk sikap dan penampilannya yang ia jaga agar tetap Islami. Akibatnya ia sering dianggap ustadz dan ditanya macam-macam perihal Islam, sehingga secara tidak langsung menuntut Opick untuk memperdalam Islam. Ini menunjukkan sikap istiqamah yang menurut saya patut dicontoh. Dan setahu saya, Opick tidak pernah mempromosikan albumnya sebagai album religi. Begitupun Bimbo (biasanya Bimbo menyebut albumnya album qasidah, sebagai satu genre musik).

Lalu ada lagi istilah Islami. Dalam pengamatan saya, apapun yang diberi label Islami belum tentu mencerminkan Islam itu sendiri, tetapi lebih kepada menunjukkan atribut budaya yang umum digunakan oleh Umat Islam. Contoh: di zaman Rasulullah Shallallahu 'alayhi wasallam (setahu saya) tidak ada yang namanya peci dan baju koko, tetapi sekarang dianggap sebagai ikon Islam. Memang sejauh tidak bertentangan dengan syari'ah Islam, apapun yang Islami tidak menjadi masalah. Bukankah prinsip Islam (dalam hal duniawi) adalah "semua boleh kecuali yang dilarang Allah dan Rasul-Nya"?

Yang menjadi masalah, misalnya seorang perempuan dewasa mengenakan busana yang dipandang "Islami" tapi poni rambutnya kelihatan (kalau cuma beberapa helai sih mungkin tidak sengaja), atau lengan bajunya tipis sehingga agak menerawang. Bukankah itu sudah menyalahi syari'ah? Kalau menurut saya, idealnya Islami itu ya syar'i, alias sesuai syari'ah.

Hanya memang kita tidak bisa menyebut, umpamanya, "lagu yang syar'i", karena musik sendiri masih diperdebatkan kehalalannya. Yang ingin saya katakan adalah, daripada sekadar berusaha tampil "Islami", bukankah lebih baik dan lebih utama memperjuangkan agar syari'ah Islam ditegakkan dan apapun yang kita lakukan bersifat syar'i?

Lagi-Lagi Fatwa...

tulisan ini 90% copas dari "seri" tulisan saya di Facebook)

Rasanya setahun belakangan ini muncul berbagai polemik tentang fatwa haram, terakhir yang saya ingat adalah tentang foto-foto pre-wedding. Saya tidak akan mengomentari soal itu lebih jauh, karena saya yakin Insya Allah teman-teman bisa menilai sendiri.

Yang mengganggu pikiran saya adalah betapa mudahnya keluar fatwa haram atas sesuatu di negara ini, atau mungkin lebih tepatnya betapa mudahnya media menjadikan suatu pernyataan menjadi fatwa tanpa penjelasan yang utuh. OK, mari kita bahas...

Apa itu fatwa?

Setahu saya fatwa adalah penegasan atas sesuatu yang sudah jelas halal atau haramnya. Fatwa adalah kewajiban para ulama untuk mengingatkan apabila umat Islam mulai lupa atau mengabaikan masalah halal dan haram.

Kalau pernyataan haram atau halalnya sesuatu yang belum jelas, umumnya karena pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alayhi wasallam hal tersebut belum ada contohnya, harus melalui suatu proses yang namanya ijtihad. Sesuai akar katanya (jihad), maka ijtihad adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh dalam rangka memutuskan suatu perkara, layaknya hakim yang akan menjatuhkan vonis. Sungguh-sungguh di sini artinya berusaha agar hasil ijtihad benar-benar sesuai Quran dan Sunnah, karena hasil ijtihad tersebut akan menjadi hukum yang harus dipatuhi oleh umat Islam.

Karena itu, ijtihad tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Rasulullah Shallallahu 'alayhi wasallam memperingatkan kita dengan keras agar tidak membuat keputusan atas suatu perkara yang kita tidak tahu benar tentang perkara tersebut, agar tidak menimbulkan fitnah.

Yang berhak melakukan ijtihad adalah ulama yang benar-benar faham (dan hafal tentunya) Quran dan Sunnah, serta ijma' para Shahabat. Imam Bukhari saja, yang tidak kita ragukan hafalannya, selalu mendirikan shalat 2 rakaat sebelum meriwayatkan suatu hadits, karena beliau sangat menyadari bahwa hadits yang beliau riwayatkan akan dijadikan dasar hukum bagi umat Islam.

Hasil ijtihad baru bisa diumumkan sebagai fatwa apabila disepakati oleh para ulama dengan kriteria tersebut di atas, dan pada saat diumumkan maka hasil ijtihad tersebut menjadi hukum yang harus dipatuhi oleh umat Islam.

Nah, jika ada seseorang atau sekelompok orang yang mengeluarkan fatwa, harus dilihat dulu apakah pihak yang mengeluarkan fatwa tersebut cukup kredibel untuk diterima fatwanya. Karena kalau tidak, maka "fatwa" itu tidak lebih dari pendapat, yang tentunya hanya berlaku bagi dirinya sendiri beserta orang-orang yang menyetujui pendapat tersebut, sehingga tidak layak disebut fatwa. Apalagi jika pihak yang mengeluarkan "fatwa" menyatakan bahwa "fatwa"-nya tidak bersifat mengikat. Logikanya, kalau tidak mengikat, untuk apa mengeluarkan fatwa?

Kontroversi Fatwa di Media

Mengapa setiap berita mengenai fatwa di media massa selalu menimbulkan kontroversi? Sebabnya bisa berasal dari kedua sumber : Pihak yang mengeluarkan fatwa (misalnya MUI) dan media itu sendiri.

Jika fatwa MUI (yang disiarkan melalui media) selalu menimbulkan kontroversi, itu wajar, karena :
Pertama, MUI tidak punya kekuatan yuridis atau politis, tidak seperti di Iran yang balon presidennya saja diseleksi dulu oleh "MUI"-nya, karena Indonesia bukan negara yang berkonstitusi Hukum Islam;
Kedua, Umat Islam di Indonesia sangat beragam pemahamannya, sementara MUI belum dipandang cukup mewakili seluruh Umat Islam di Indonesia, begitupun ormas-ormas Islam lainnya.

Bukan berarti MUI tidak perlu mengeluarkan fatwa. Justru itu tugas mereka untuk mengingatkan Umat Islam Indonesia demi kemaslahatan Umat Islam itu sendiri (paling tidak menurut mereka).

Yang sesungguhnya menjadi masalah adalah cara media massa menyiarkan fatwa-fatwa tersebut. Seringkali judul berita tidak sepenuhnya mencerminkan isi beritanya, untuk tidak mengatakan "menyesatkan". Sebuah penelitian oleh para ahli komunikasi massa telah membuktikan bahwa judul yang berbeda akan menimbulkan sikap pembaca yang berbeda, walaupun teks isi beritanya sama persis!

Bisa saja media tidak sengaja melakukan kekeliruan dalam pemberitaan sehingga menimbulkan kontroversi, tetapi itu adalah suatu kesalahan profesional yang bisa memberi dampak material bahkan hukum pada media tersebut.

Yang lebih mungkin adalah media sengaja memilih dan menyampaikan berita sedemikian rupa agar menimbulkan kontroversi. Dalam ilmu komunikasi, hal ini terkenal sebagai teori Agenda Setting.

Ada beberapa alasan media melakukan Agenda Setting :
  1. Alasan Komersial. Media massa umumnya hidup dari iklan, dan pemasang iklan baru akan memasang iklan jika media yang bersangkutan menarik banyak konsumen. Salah satu jenis berita yang dianggap banyak menarik perhatian konsumen adalah berita yang kontroversial, karena kontroversi akan menimbulkan polemik, dan polemik itupun akan menjadi berita tersendiri yang akan terus diikuti perkembangannya.
  2. Alasan Politis atau Ideologis. Tidak ada media massa yang benar-benar independen. Setiap media massa sedikit banyak (ingin) menampilkan pola pikir dan sikap pemilik, direksi, atau redaksinya. Kalau di surat kabar, sikap itu bisa dibaca dengan jelas pada editorial (tajuk rencana). Selain itu, ya pada berita yang disiarkan beserta cara penyampaiannya.
Alasan politis atau ideologis ini yang sebenarnya lebih "berbahaya", apalagi jika suatu media massa merasa perlu "menjatuhkan lawan" politis / ideologisnya. Dan ini terjadi di seluruh dunia, termasuk media massa internasional dan multinasional.

Efek Kontroversi Fatwa

Seorang teman saya pernah mengatakan bahwa kontroversi dan polemik itu perlu. Kalau tidak ada kontroversi, mungkin tidak akan ada bahan diskusi yang seru.

Saya mencoba menarik kesimpulan dari perkataan teman saya itu, bahwa kontroversi mengenai fatwa di media dapat berefek positif maupun negatif. Efek positifnya antara lain :
  1. Menyadarkan kita akan adanya masalah yang mungkin masih bersifat syubhat, sehingga mendorong kita untuk berhati-hati dalam menyikapi masalah yang melatarbelakangi munculnya fatwa (atau pendapat) yang disebarluaskan melalui media.
  2. Mendorong orang-orang awam seperti saya untuk membuka-buka referensi mengenai masalah yang "difatwakan" untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai masalah tersebut. Dengan kata lain, kontroversi punya potensi untuk mencerdaskan masyarakat.
Efek positif no. 2 di atas umumnya lebih banyak terjadi di negara-negara yang masyarakatnya lebih dewasa dalam menyikapi suatu isu (bukan hanya lebih berpendidikan). Contohnya ketika MUI mengumumkan bahwa bumbu penyedap Ajinomoto mengandung zat yang diharamkan, banyak orang Jepang yang lantas tertarik untuk mempelajari Islam agar dapat memahami alasan diharamkannya zat tersebut.

Sedangkan efek negatifnya antara lain :
  1. Menimbulkan konflik terbuka yang berpotensi kekerasan. Dapat terjadi apabila suatu fatwa menyangkut satu atau lebih golongan yang spesifik. Biasanya efek ini tidak berlangsung lama. Misalnya fatwa yang menyatakan Ahmadiyah sebagai ajaran sesat.
  2. Memunculkan kesan negatif terhadap Islam, khususnya para ulama. Bisa disebut efek jangka menengah, karena masih ada kemungkinan untuk koreksi atau klarifikasi.
  3. Menyebabkan kebosanan (karena terlalu seringnya muncul polemik mengenai fatwa) yang kemudian menjadi sikap apatis dan tak acuh terhadap setiap pemberitaan mengenai fatwa. Ini adalah efek yang paling serius karena dapat bersifat jangka panjang.
Efek-efek negatif di atas merupakan bentuk reaksi emosional yang muncul dari khalayak yang berpendidikan rendah atau kurang dewasa dalam menyikapi isu (misalnya di Indonesia), kecuali efek negatif no. 3 yang justru banyak melanda kalangan berpendidikan tinggi. Efek tersebut berbahaya karena dapat berakibat diabaikannya fatwa-fatwa yang benar-benar menyangkut kemaslahatan Umat Islam, sehingga justru merugikan Umat Islam sendiri.

Jadi mudah disimpulkan bahwa sikap terbaik yang bisa diambil terhadap kontroversi fatwa adalah meningkatkan pemahaman kita tentang masalah yang difatwakan guna menghindari reaksi emosional yang justru berpotensi merugikan diri sendiri.

Jadi Gimana Dong?

ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

"Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS 16:125)

Ayat inilah yang seharusnya menjadi pedoman para ulama dalam menyampaikan fatwa, bahkan dalam situasi tertentu mungkin lebih baik tidak menggunakan istilah "fatwa" atau "haram".

Misalnya fatwa haramnya rokok. Dalam hal ini sebetulnya ulama Indonesia ketinggalan dari ulama-ulama Arab Saudi, Malaysia, dll. yang sudah lebih dulu mengharamkan rokok. Tetapi karena ulama di negara-negara tersebut juga tidak punya kekuatan politik, akhirnya fatwa itu seakan-akan hanya himbauan. Berbeda dengan Singapura yang, ironisnya, berani melarang rokok dengan sanksi yang tegas, walaupun mereka bukan Muslim.

Masalahnya Indonesia adalah, seperti kata Taufiq Ismail, "surganya para perokok". Kalau rokok langsung dinyatakan haram, pasti akan mendapat perlawanan atau fatwa tersebut tidak diacuhkan seperti yang saya bahas pada bagian sebelumnya. Menurut saya, dalam kasus ini akan lebih baik kalau para ulama mencontoh proses pengharaman khamr oleh Allah sebagaimana terdapat dalam Quran.

Prosesnya kira-kira begini :
Ulama yang merokok berhenti merokok dulu, lalu mengkaji hal-hal apa yang membuat rokok itu haram (alias mudharat-nya), seperti zat-zat beracun yang terkandung di dalamnya, efeknya pada kesehatan (termasuk pada perokok pasif), pemborosan uang untuk membelinya, sifat mubadzir-nya, dll. Nah itu dulu yang dikampanyekankan ke masyarakat, tanpa perlu embel-embel "haram".

Itu cuma contoh. Singkatnya, ada beberapa saran yang bisa saya berikan:
  1. Selain mengkaji halal atau haramnya sesuatu, perlu dikaji juga bagaimana menyampaikannya pada masyarakat, sebagai penerapan "da'wah bil-hikmah wal-mau'izhatil-hasanah" pada ayat di atas.
  2. Kesampingkan gengsi sebagai "yang lebih tahu tentang halal dan haram", doronglah masyarakat agar ikut mengkaji mengenai masalah yang bersangkutan.
  3. Berhati-hatilah dalam mengeluarkan pernyataan melalui media, agar kemungkinan distorsi bisa diminimalkan. Kalau memungkinkan, adakan satu bentuk media sendiri yang dapat langsung menjangkau khalayak.
Sedangkan untuk media, saya cuma bisa mengingatkan :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti (fatabayyanu), agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." (QS 49:6)

Wallahu a'lam

Jumat, 12 Februari 2010

The Copy-Paste Culture

"Izin copas ya..."

Begitulah komentar yang suka muncul kalau lagi ada tulisan yang menarik, apa itu di notes atau di link atau di status Facebook teman. Buat yang belum tahu (tapi sudah bisa menebak dari judulnya), copas itu akronim dari copy - paste. Caranya, blok tulisannya, tekan Ctrl-C atau klik kanan terus copy, terus di tempat kita mau naruh tulisan itu, ketik Ctrl-V atau klik kanan terus paste (lho koq malah ngajarin? kayak yang pada belum tahu aja...)

Teman saya di Facebook pernah bilang, entah dia mengutip dari siapa, "Budaya copy-paste bikin malas menulis."
Buat yang bercita-cita jadi penulis atau kolumnis atau wartawan, camkan itu baik-baik! ^^ Tapi kalau buat "orang awam" atau para pencari ilmu, "budaya" ini sangat berguna untuk transfer ilmu. Cuma yang jadi masalah kalau copy-paste-nya tidak mencantumkan sumber, sehingga orang lain menganggap bahwa itu murni tulisan copier-nya. Jadi kalau mau copas, jangan lupa cantumkan sumbernya. Atau yang lebih gampang ya di-share aja...

Jujur saja, saya juga suka copas, terutama kalau isinya kajian dari Quran dan hadits, dan Insya Allah selalu saya cantumkan sumber atau penulisnya. Di blog ini Insya Allah tidak akan ada copas
dari tulisan orang lain kecuali dari notes di Facebook saya yang saya tulis sendiri... :)

Yang pasti dilarang copas sewaktu ujian! Apalagi UN, bikin greget aja! :P