Kamis, 29 April 2010

Cek & Ricek

Bukan, ini bukan tentang infotainment (:P ada sih sedikit tentang itu nanti), ini tentang sesuatu yang kerap terlupakan pada era informasi seperti sekarang.

Dalam Al-Quran, istilahnya adalah "tabayyun":
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْماً بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu."
(QS Al-Hujurat 49:6)
Istilah lainnya, ada "cross-checking", "klarifikasi", dlsb. Intinya adalah memeriksa kembali kebenaran suatu berita yang sampai pada kita. Tujuannya seperti yang disebutkan dalam ayat di atas, agar tidak menimbulkan musibah kepada suatu kaum (masyarakat), apapun bentuknya. Prinsipnya sederhana, yaitu selama sumber yang ada belum cukup valid, harus selalu mencari sumber lain yang lebih tinggi atau minimal setingkat kredibilitas dan keabsahannya (second view) sebelum mempublikasikan berita ybs. Sebisa mungkin sumber tersebut objektif, tetapi jika tidak bisa, maka minimal mewakili setiap pihak yang berseberangan dalam masalah yang diberitakan (both sides of the story).

Saya melihat bahwa tabayyun sewajibnya dilakukan terutama terhadap tiga macam berita:

1. Aktualita
Yang dimaksud di sini adalah peristiwa yang relatif belum lama terjadi. Bahkan di zaman satelit & internet seperti sekarang ini, berarti termasuk peristiwa yang baru saja terjadi. Informasi paling aktual adalah komoditi setiap media massa, terutama stasiun-stasiun televisi. Tiap stasiun berlomba-lomba menghadirkan liputan paling aktual selengkap-lengkapnya. Tetapi justru di sinilah potensi terjadinya kesalahan informasi, karena mengabaikan tabayyun alias cek & ricek tadi.

Masih ingat kesalahan pemberitaan oleh sebuah stasiun televisi mengenai terbunuhnya Noordin M. Top? (saya jelas masih ingat, karena kasus itu dijadikan soal dalam Tugas Akhir Program saya ^^) "Kebetulan" stasiun televisi yang sama kemudian melakukan lagi kesalahan yang lebih serius, yaitu menghadirkan narasumber yang mengaku makelar kasus (markus), padahal ternyata bukan, alias markus palsu! Selain itu, mungkin tidak banyak yang memperhatikan, tetapi saya pernah melihat berita pada newsticker stasiun itu yang menurut saya terlalu mudah men-generalisir pelaku kerusuhan dalam suatu pertandingan yang baru terjadi (tidak semua bobotoh itu Viking, kawan).

Ironisnya, stasiun televisi tersebut mengkhususkan diri pada berita.

Tapi ada dua jenis berita yang tidak perlu diklarifikasi -- bahkan seharusnya tidak diberitakan -- yaitu:
  1. Infotainment (sampai sekarang saya masih tidak mengerti di mana letak entertainment-nya) alias berita seputar selebritis. Masalahnya, mayoritas berita tentang selebritis adalah mengenai kehidupan pribadinya (termasuk aib-aibnya), dan banyak di antaranya masih berupa gosip.
  2. Isu tentang maksiat yang dilakukan oleh seseorang atau golongan tertentu.
Dasarnya adalah QS Al-Hujurat ayat 12:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang."

2. Sejarah
Kadang saya bertanya-tanya, adakah buku pelajaran sejarah di suatu negara yang tidak hanya menceritakan "kehebatan" tokoh-tokoh historis negara itu, tetapi juga menceritakan kekurangan atau kesalahan tokoh-tokoh tersebut (sebagai pelajaran kepada generasi berikutnya agar tidak mengulanginya lagi)? Saya melihat bahwa banyak tulisan tentang sejarah yang isinya cenderung memihak, kalau tidak menyanjung-nyanjung atau membela tokoh-tokoh atau golongan tertentu, ya menjelek-jelekkan tokoh-tokoh atau golongan lain. Dan menurut saya, inilah salah satu faktor perpecahan umat Islam (dan umat-umat lain).

Jelas bahwa dalam hal ini, QS Al-Hujurat ayat 6 dan 12 ("jauhilah kebanyakan dari prasangka") juga berlaku. Tabayyun dalam mempelajari sejarah amat penting, agar kita tidak mendapatkan gambaran yang salah tentang peristiwa-peristiwa atau tokoh-tokoh penting di masa lalu, sehingga kita bisa mengambil pelajaran darinya.

Kita bisa belajar tentang hal ini dari Ibnu Katsir misalnya, bagaimana beliau dengan teliti memilah-milah sumber-sumber yang bisa dipercaya, sehingga menghasilkan karya seperti Al-Bidayah wan-Nihayah (Awal dan Akhir) atau Qashashul-Anbiya (Kisah Para Nabi). Selain itu, ada satu bangsa yang menurut saya cukup objektif dalam menuliskan sejarah bangsanya, yaitu bangsa Jepang.

Bagaimana dengan Indonesia? Disinyalir bahwa para pencatat sejarah di masa feodal kerajaan-kerajaan (termasuk pada masa kerajaan-kerajaan Islam) di Indonesia menulis untuk menyenangkan raja. Siapapun yang menulis tentang kekurangan atau kesalahan raja, dihukum berat. Apalagi zaman penjajahan. Maka sampai sekarang sulit untuk menemukan catatan-catatan sejarah Indonesia yang benar-benar valid dan objektif.

3. Hadits
Buat saya, sebagai seorang muslim, masalah inilah yang paling penting. Rasulullah Shallallahu 'alayhi wasallam bersabda,
“Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka hendaklah ia mengambil tempat tinggalnya di neraka.” (HSR Al-Bukhary & Muslim)
Yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah hadits-hadits palsu (dianggap berasal dari Nabi Shallallahu 'alayhi wasallam padahal tidak). Saking banyaknya hadits-hadits dha'if (lemah) dan maudhu (palsu), sampai-sampai Syaikh Nashiruddin Al-Albany berhasil mengumpulkannya dalam 14 jilid buku Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu! Contoh-contohnya bisa dilihat di sini (harap diperhatikan bahwa sebagian komentar-komentar terhadap "hadits-hadits" yang disebut di sini masih dalam wilayah ijtihad):
http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/98
http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/104
http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/121
http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/148


Mengapa ancamannya demikian keras? Ada dua hikmah yang bisa saya ambil di sini:
  1. Bayangkan saja, misalnya, teman Anda mengatakan pada seorang lawan jenis Anda (katakanlah namanya Dwi) bahwa Anda ingin "nembak" dia, padahal yang Anda taksir adalah orang lain (katakanlah namanya Tri). Kira-kira bagaimana perasaan Anda ketika Dwi tiba-tiba menolak atau menerima "tembakan" yang dikiranya dari Anda, di hadapan Anda dan Tri pula, padahal Anda tidak tahu-menahu soal itu? Tentu timbul fitnah. Maka sungguh keterlaluan jika seorang muslim menimbulkan fitnah terhadap junjungannya (Nabi Muhammad Shallallahu 'alayhi wasallam) karena menyampaikan kata-kata yang dikiranya berasal dari beliau padahal bukan.
  2. Kata-kata, perilaku, dan sikap Rasulullah Shallallahu 'alayhi wasallam memiliki implikasi hukum. Perintah beliau minimal bernilai sunnah, sedangkan larangan beliau minimal bernilai makruh. Hadits palsu bisa menyebabkan sesuatu yang mubah jadi dianggap sunnah atau makruh -- yang berarti menambah beban ibadah seorang muslim -- bahkan bisa menyebabkan suatu bid'ah dianggap syar'i (sesuai syari'at Islam).
Kita ambil contoh hadits palsu berikut:
"Cinta tanah air sebagian dari iman."
Jika ini benar hadits Nabi Shallallahu 'alayhi wasallam, maka "cinta kepada tanah air" menjadi sesuatu yang disunnahkan bahkan diwajibkan, karena tanpanya iman seseorang takkan lengkap. Padahal cinta kepada tanah air adalah hal yang mubah (diperbolehkan tanpa ada konsekuensi mendapat pahala atau dosa), sebagaimana kecintaan kepada harta, keluarga, teman-teman, dll. selama tidak melebihi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alayhi wasallam. Dan tidak ada satupun 'ulama ahli hadits yang bisa menunjukkan sanad (mata rantai periwayatan hadits) yang shahih sampai ke Rasulullah Shallallahu 'alayhi wasallam atas perkataan itu, bahkan disinyalir kata-kata tersebut adalah buatan orang Yahudi.

Contoh lain yang tidak tercantum dalam link-link di atas adalah kata-kata terkenal berikut:
"Kami adalah kaum yang tidak makan sampai kami lapar, dan apabila kami makan tidak sampai kenyang."
Ini bukan perkataan Nabi Shallallahu 'alayhi wasallam, walaupun matan (isi) "hadits" tersebut dianggap baik. Imam As-Suyuthi menyebutkan bahwa ini adalah kata-kata seorang tabib alias dokter dari Sudan ketika diminta advisnya oleh Kisra Persia tentang cara menjaga kesehatan tanpa efek samping (silakan cari riwayatnya di google, buanyak yang menceritakannya).

Masalahnya, jika perkataan itu dianggap berasal dari Nabi Shallallahu 'alayhi wasallam, maka orang-orang yang makan sampai kenyang dianggap tidak termasuk umat Nabi Muhammad Shallallahu 'alayhi wasallam. Hal ini kontradiktif dengan hadits-hadits shahih yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alayhi wasallam membiarkan bahkan pernah menyuruh Sahabat makan atau minum sampai kenyang. Yang tidak diperbolehkan adalah makan atau minum sampai kekenyangan, dan dasarnya adalah ayat Quran (Al-A'raf ayat 31).

Karena itu, penting bagi seorang muslim untuk bersikap kritis ketika ia mendengar atau membaca suatu hadits, apalagi jika periwayatannya tidak jelas (cuma dibilang "kata Nabi" atau "riwayat Fulan" tanpa menyebutkan sanadnya shahih atau tidak). Sudah seharusnya ia melakukan tabayyun kepada para 'ulama ahli hadits atau minimal kepada orang-orang yang merujuk kepada mereka (silakan cari lagi di google), sekali lagi agar tidak menimbulkan fitnah.

Demikianlah uraian singkat ini, mudah-mudahan ada manfaatnya. Kalau ada yang salah dalam tulisan ini, tolong sampaikan koreksi kepada saya. Zadanallahu 'ilman wahirshan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar