Jumat, 26 Maret 2010

The Copy-Paste Culture Continues...

Wah, udah UN lagi ya? Padahal masih bulan Maret...
Ingat "keluhan" saya di akhir tulisan yang pertama? Nah, saya mau membahas lebih banyak tentang itu, walaupun mungkin agak telat buat teman-teman SMA yang baru selesai UN (maaf ya...)

Beberapa tahun belakangan ini memang seakan jadi "tradisi" bahwa setiap penyelenggaraan UN diwarnai kecurangan sistematis luar biasa berupa kebocoran soal atau kunci jawaban, yang sampai melibatkan guru-guru, para kepala sekolah, hingga jajaran Dinas Pendidikan. Konon bahkan sampai jadi "bisnis" tersendiri. Tahun ini memang tidak seheboh tahun-tahun yang lalu, walaupun masih ada indikasi kecurangan di sana-sini.

Ya, inilah yang saya sebut budaya copas (copy-paste) yang negatif bahkan destruktif. Tidak perlu susah-susah mengingat-ingat teori-teori, tanggal-tanggal dan nama-nama, apalagi menghitung. Cukup buka SMS atau selembar kertas kecil yang bisa bernilai jutaan rupiah, tinggal di-copas secara manual, beres! Sesederhana itu? I don't think so...

Apa sih penyebab semua kecurangan itu?

Kalau saya ingat dulu zaman saya SMA, saya dan teman-teman seangkatan tidak begitu mengkhawatirkan EBTANAS ("kakaknya" UN). Bagi kami UMPTN ("kakaknya" SNMPTN) masih lebih mengerikan. Tetapi bukannya kami tidak serius belajar dalam menghadapi EBTANAS (gengsi dong), hanya saja kami masih bisa tertawa-tawa melihat hasilnya ("Haha, tekor euy, dulu NEM SMP 52 dari 6 mata pelajaran, sekarang NEM SMA 49 dari 7 mata pelajaran..." atau "Weiss, kenapa mafiki dapet 7 tapi biologi dapet 4? emang parah nih hafalannya..."), dan langsung konsentrasi menghadapi UMPTN.

Apa dulu tidak ada kecurangan? Ada saja, hanya jumlah pelakunya tidak signifikan dan dilakukan oleh siswa sendiri, paling banter pakai joki waktu UMPTN. Tetapi kenapa begitu kebijakan UN diberlakukan, mayoritas yang jujur jadi minoritas, sedangkan minoritas yang curang jadi mayoritas, didukung oleh guru-gurunya pula? Kenapa UN bisa menjadi "hantu" yang begitu menakutkan hingga para siswa berani mengambil risiko musyrik dengan berdo'a bersama di makam wali? (Kenapa harus di makam wali kalau berdo'a di masjid jelas-jelas lebih mustajab? Maaf, jadi agak melenceng ^^)

Ada satu karakter bangsa Indonesia yang menjadi perhatian saya sejak lama (mungkin termasuk saya sendiri), yaitu keinginan untuk mendapatkan segala sesuatu dengan cara yang mudah, halal urusan belakangan. Saya melihat hal ini antara lain dari begitu suburnya kuis dan undian berhadiah di negeri ini (pertanyaan gampang, jawaban disediakan, hadiahnya jutaan) sampai ke begitu mendarahdagingnya korupsi di segala level.

Lalu bubarlah Orde Baru, lahirlah kebebasan yang belum pernah dirasakan rakyat Indonesia, dan timbullah kesempatan-kesempatan baru. Sayangnya, karena karakter yang saya sebutkan tadi, orang-orang malah menggunakan kesempatan itu untuk menghalalkan segala cara untuk mencapai kekayaan, kekuasaan, dll. untuk diri, keluarga, atau golongannya sendiri, walaupun itu dengan merampas hak saudaranya sendiri.

Di sisi lain, pemerintah merasa bahwa bangsa Indonesia belum cukup mampu bersaing, apalagi dalam menghadapai era perdagangan bebas sebentar lagi. Maka pemerintah lantas menaikkan standar pendidikan dengan kurikulum yang lebih padat (apa namanya sekarang? KTSP ya?), menjadikan UN sebagai syarat kelulusan dengan batas nilai minimal, menjadikan beberapa sekolah "berbasis internasional", dsb.

Nah, ketika kebijakan itu bertemu karakter negatif di atas, muncullah sisi buruk dunia pendidikan negeri ini dalam skala dan kecepatan yang luar biasa. Sampai-sampai para kepala sekolah dan guru-guru ikut terlibat di dalamnya, karena mereka berusaha mempertahankan peringkat dan reputasi sekolahnya. Ini merupakan akibat yang logis, karena pada masa-masa awal munculnya "kecurangan sistematis", rata-rata nilai UN siswa-siswa sekolah "pinggiran" tiba-tiba bersaing dengan rata-rata nilai UN di sekolah-sekolah favorit. Pernah saya lihat di TV, ada guru yang bilang kalau membantu murid sewaktu UN adalah tanggung jawab moral guru untuk meluluskan muridnya. (Kalau begitu untuk apa beliau susah-susah mengajar anak didiknya selama 3 tahun?)

"Emang kenapa?"

"Emang kenapa kalo saya pake kunci jawaban pas UN? Semua temen-temen juga pake. Si itu aja tuh yang ngga, da dia mah dari sononya juga udah pinter..."

Inilah beberapa akibat kecurangan dalam UN:

Beberapa tahun lalu, terjadi fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya, yaitu menurunnya minat terhadap SMA Negeri yang biasanya jadi favorit, sampai-sampai pada hari penutupan pendaftaran ulang, masih banyak kursi kosong di SMA-SMA tersebut. Begitu maraknya kecurangan UN, sehingga rata-rata nilai UN SMP membubung tinggi, yang tentu saja berdampak pada naiknya passing grade secara drastis. Akibatnya banyak orang tua khawatir nilai UN anaknya tidak cukup untuk diterima di SMAN favorit. Maka, untuk mengisi kekosongan kursi tersebut, SMA-SMA itu terpaksa diam-diam menerima siswa yang nilai UN-nya jauh lebih rendah dari passing grade SMA ybs. Artinya, nilai UN tidak lagi menjadi ukuran prestasi siswa.

(Saya teringat tahun 2005 waktu ibu saya mau mendaftarkan adik saya ke SMAN favorit, karena diperkirakan nilai UN-nya cukup berdasarkan data passing grade tahun sebelumnya. Ternyata passing grade SMA naik cukup jauh, sehingga akhirnya setelah gagal mendaftar ke beberapa SMAN, adik saya didaftarkan ke SMAN yang peringkatnya jauh di bawah.)

Ibu saya (beliau adalah seorang dosen) pernah mengeluh bahwa beberapa tahun belakangan, setiap tahun selalu ada saja mahasiswa yang ketahuan nyontek atau bekerjasama saat ujian atau
tugas perseorangan. Gimana ngga ketahuan? Soalnya essay, jawabannya ditulis tangan, tetapi kok bisa dua orang menjawab soal yang sama dengan jawaban yang sama persis kata-katanya, susunan kalimatnya, angka-angkanya, bahkan sampai sembilan angka di belakang koma! Dan itupun mahasiswa ybs. tetap menyangkal bahwa dia telah berlaku curang. Keluhan lainnya adalah bahwa mahasiswa sekarang sedikit yang mau bersusah payah mencari referensi di perpustakaan, kebanyakan meminta fotokopian materi kuliah saja dari dosen yang mengajar.

Menurut ibu saya, inilah akibat dari dibiasakannya siswa-siswa sekolah mendapatkan nilai bagus dengan cara yang gampang. Dan kalau kita lihat dalam konteks yang lebih luas, inilah mengapa korupsi begitu merajalela di negeri ini. Pokoknya tahu beres!

Akhir-akhir ini sedang ramai pemberitaan tentang dugaan korupsi yang dilakukan oleh seorang
pegawai Ditjen Pajak yang bernama Gayus Tambunan sebesar 25 milyar rupiah. Yang agak mengganggu pikiran saya adalah, umurnya cuma beda setahun sama saya! (Alhamdulillah, Ya Allah, Engkau tidak menjadikan saya seperti orang itu, dan saya mohon jangan sampai saya jadi orang yang seperti itu!) Saya jadi agak su'uzhan, seandainya UN sudah diberlakukan sejak zaman saya sekolah, mungkin dia termasuk yang mengambil "jalan pintas". Kalau memang demikian, apa jadinya para PNS dalam waktu sepuluh tahun nanti? Na'udzubillahi min dzalik...

Menyontek = Merampas hak orang lain

Ya, bagi saya, menyontek itu sama dengan mencuri, sama dengan merampok, sama dengan korupsi. Skalanya saja yang lebih kecil, tetapi dampak negatif bagi si penyontek maupun "korban"-nya tetap besar. Menyontek itu kezhaliman! Bagaimana tidak, siswa brilian yang seharusnya lebih layak bersekolah di SMA favorit, gagal diterima karena nilai UN-nya tidak melewati passing grade SMA tersebut, hanya karena ia bertahan dengan kejujurannya.

Maka tidak heran jika para siswa yang terbiasa menyontek itu suatu saat ketika dewasa melakukan plagiat, melakukan korupsi, bahkan terlibat mafia. Dan segala yang didapatkannya dengan cara tidak halal dan tidak barakah tadi pada akhirnya hanya akan memberatkan timbangan amal buruknya di Pengadilan Terakhir kelak.

Sadarlah teman-teman! Nilai UN seorang siswa yang menyontek bukanlah miliknya, tapi ia harus tetap mempertanggungjawabkannya di kemudian hari, dan penebusannya akan sulit sekali (syukur-syukur kalau dosanya masih bisa ditebus di dunia). Buat teman-teman SMP yang akan UN senin nanti, sadarilah bahwa UN itu adalah juga ujian kejujuran dan ujian kesabaran, yang akan berbekas seumur hidup pada diri kalian!

Buat yang berminat, supaya lebih mantap, ayo bergabung bersama Gerakan Anti Nyontek Pelajar Nasional! Ini link group Facebook-nya. Dengan bergabung, Insya Allah teman-teman akan mendapatkan pesan-pesan yang inspiratif yang bisa menjadi motivasi untuk berusaha dengan jujur dan sungguh-sungguh dalam menghadapi UN. Come on guys! I know you can do it!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar